Rabu, 20 Januari 2016

keindahan kecamatan parlilitan dan desa


Perjalanan ke ibukota kecamatan Parlilitan mencapai dua jam setelah melewati jalan yang agak sepi dan diapit penuh pohon-pohon bebukitan serta desa-desa yang jaraknya dapat melelahkan kalau jalan kaki. Pohon-pohon kemenyan di bebukitan tertentu masih kelihatan tegar dan kadangkala di tempat-tempat lainnya kelihatan mulai disaingi pohon-pohon yang ditanam untuk kebutuhan sebuah pabrik pulp di Porsea (Tobasa). Teman yang mencoba mengomentari kehadiran eucalyptus itu di Humbahas mengira akan terjadi kolaborasi perusakan lingkungan di daerah kabupaten yang baru dimekarkan ini. Di beberapa ruas jalan memang ada kerusakan. Namun kerusakan itu tidak mungkin terkait dengan truk-truk pengangkut kayu seperti yang merusaki jalan dari arah Tomok ke Nainggolan di Samosir. Jalan-jalan rusak di Humbahas mungkin karena faktor-faktor lain seperti campuran aspal atau pengerjaannya yang bisa tertunda karena hewan-hewan liar dan ganas yang mungkin mengganggu para pengaspal jalan. Dugaan ini tidak sengaja terkait karena jenis mistifikasi yang pernah muncul antara daerah Pakkat dan Parlilitan. Jalan rusak sepanjang Doloksanggul – Parlilitan menurut bupati harusnya telah diperbaiki karena surat keputusan untuk itu telah beliau keluarkan.
Wajah Humbahas melalui hutannya belum terganggu. Namun dianggap bisa tertinggal kalau hanya mengandalkan pohon-pohon yang asli tumbuh dari dahulu kala. Namun masyarakat juga telah berinisiatif menggunakan lahan dengan menanam kopi sigarar utang (pembayar hutang), istilah setempat untuk kopi Arabika yang dapat menjadi cadangan finansial karena masa panennya berjarak tidak sampai enam bulan.
Itulah yang sangat terlihat sebelum sampai di Parlilitan. Tidak banyak yang bisa tergambar detail tumbuhan yang ditanami di seluas lahan ke arah Parlilitan. Apalagi karena perhatian yang ingin segera tiba di jurang Sindias. Jarak Doloksanggul – Parlilitan mungkin tidak begitu membosankan karena hanya 42 km. Namun satu informasi menarik dari antara Doloksanggul dan Parlilitan adalah kehadiran sebuah pusat gereja bernama Lutheran rupanya telah merupakan salah satu pendorong perubahan di sana. Mungkin dengan keberadaan pusat gereja itu setiap orang ke arah Parlilitan tidak lagi dibayangi ketakutan. Sedikitpun memang tidak lagi memunculkan suasana seram sampai rombongan singgah di rumah camat Parlilitan, seorang boru Marbun dan alumnus STPDN yang memilih kembali ke kampung halamannya itu.
Di rumah camat itu kami, yang datang dari luar Doloksanggul, masih merasa mengikuti peta buta. Sambil menikmati minuman dan kudapan, Idris Pasaribu mencoba menanyakan latar belakang dan tujuan perjalanan. Namun bupati tidak menjawab langsung. “Mungkin ada kaitannya dengan peringatan 100 tahun wafatnya Sisingamangaraja ya, pak?” Aku mencoba memberikan pancingan.
“Yah, kami sedang ingin mendapatkan masukan. Sebenarnya perjalanan kita ini bisa dikatakan hanya pemanasan. Mudah-mudahan, seperti yang dikatakan oleh sutradara (sambil menunjuk diriku), dapat kita laksanakan. Apalagi karena kita sudah sempat berbincang-bincang dengan Sitor Situmorang beberapa waktu lalu. Kukira,” lanjut bupati seperti tak banyak tahu, “sepulang dari yang kita tuju semuanya akan jelas. Nantilah kita lanjutkan ya.”

Menambahi jawaban bupati aku mengatakan kepada Idris, “Di antara kami sebenarnya belum connect.” Maksudku dengan kata itu belum ada tujuan yang dimengerti antara apa yang telah direncanakan melalui kehadiran Sitor Situmorang dengan klaim produksi Pulo Batu dalam rangka peringatan 100 tahun. Nampaknya memang kehadiranku tidak saja untuk melobi kebutuhan-kebutuhan pada pentas keliling Pulo Batu. Namun sedang harus membantu perjalanan ke jurang Sindias dengan latar belakang agenda Pulo Batu dan momen 100 tahun. Apakah bupati sedang ingin membangun suatu kepercayaan dengan perjalanan ke tempat yang bersejarah? Memang dalam kaitan Sisingamangaraja, mantan staf di Depdagri itu telah mengawali perhatiannya ke Istana Bakkara. Sejak tahun 2006 kabarnya telah dialokasikan Dua Milyar Rupiah semacam dana konservasi ke Bakkara dan setengah dari jumlah tersebut dikonsentrasikan ke sekitar Lumbanraja, desa tempat letak Istana Bakkara.
Istana Bakkara adalah mungkin telah menjadi sesuatu yang kongkret dibandingkan jurang Sindias atau tempat yang kami tuju. Rintik hujan masih tersisa sewaktu beranjak dari rumah camat. Sebelum menuju Pearaja aku pindah dari mobil Kompas ke mobil harian Analisa. “Nampaknya dua orang harus pindah ke situ,” kataku sengaja bergurau ke arah mobil Harian Analisa ,”agar mobil Kompas benar-benar tidak kehilangan kompas.”

Perkataan itu kukeluarkan untuk melanjutkan isi pesan singkatku kepada Nelson soal “nada keberatan” dari Billy yang mungkin jadi tak bebas nantinya memburu berita karena penumpang di luar dugaan kami. Di dalam mobil kijang Kompas kami seluruhnya bersama “supir baru” ada delapan orang. Salah seorang staf dari Bainfokom Humbahas yang dengan semangatnya ketemu lagi dengan kami, mungkin jadi sasaran keberatan Billy karena “si adik” dan alumnus Fakultas Hukum USU itu tanpa etis sempat minta berhenti di Doloksanggul karena mau beli logistik peralatannya atau persediaan makanan kecil selama di perjalanan.
Nampaknya mobil Harian Analisa lebih kuat. “Analisanya juga pasti kuat,” tambahku terakhir sebelum inisiatif bergabung dengan empat orang yang berada di sana ditambah Nelson kemudian. Di dalam mobil bermerk rocky itulah aku mulai lagi melatih imajinasiku soal jurang Sindias dengan jarak dan perang gerilya pada masa Belanda mengejar-ngejar Sisingamangaraja. Dari Bakkara (1883) ke Lintong (1884), Belanda mengejar-ngejar Sisingamangaraja karena tidak mau kompromi. Setelah membumihanguskan Lintong juga diteruskan pengejaran untuk menghabisi Sisingamangaraja. Kenapa harus dihabisi? Pikirku.
Sambil memperhatikan sekeliling jalan, pikiran itu muncul dengan bayangan lain soal liku-liku yang harus ditelusuri rombongan Sisingamangaraja waktu itu. Mereka paling hebat naik kuda waktu itu, terutama di jalan-jalan yang tidak terhambat semak tanaman di hutan Parlilitan. “Sekarang,” tambah lagi di pikiranku, “kami naik mobil tanpa beban dan bebas memperhatikan apa saja.” Sampai kami merasa tidak keliru mengikuti jalan ke arah Hutagalung (Salak) beberapa lokasi pembangunan dan proyek tenaga listrik sempat kami lalui. Sekian kilometer dari simpang Pearaja kami lewati dan mulai curiga setelah beberapa persimpangan selalu meragukan lagi. Rupanya tujuan kami bukan wilayah Sionomhudon bagian Selatan. Kami terlanjur memasuki dan melewati wilayah itu. Padahal staf Bainfokom ada di mobil Kompas.
Akhirnya kami bertanya kepada penduduk arah jalan ke Sibulbulon, tempat terakhir Belanda menemukan Sisingamangaraja. Rupanya kami telah terus ke arah kiri setelah kira-kira 600 meter dari rumah camat. Jalan ke arah Pearaja, tempat bekas markas Sisingamangaraja di daerah Parlilitan, adalah ke arah kanan dengan jarak tempuh 16 km lagi. Mungkin itu persis seperti pilihan simpang Pakkat – Parlilitan. Namun tanda yang kurang kami perhatikanlah membuat kami hampir keliru terus. Simpang menuju Pearaja ada plang kayu yang diisi dengan kalimat selamat datang kepada TNI. Beberapa waktu yang belum lama rupanya daerah Parlilitan itu kebagian program “tentara masuk desa”. Sepertinya program itu untuk membersihkan dan memperluas jalan-jalan.

Di Pearaja ada juga muncul persimpangan. Simpang kiri ke arah bekas markas itu dan simpang kanan ke arah Ambalo. Jarak markas dari simpang kira-kira 100 meter dan terletak sebelum gereja HKBP Pearaja dan gedung SD – SMP Satu Atap. Nama lain tempat itu dikenal dengan Aek Songgang. Setiba di bekas markas itu yang dituju rasanya telah terjangkau. Markas itu berisi bangunan sumber mata air bernama Pea Aek Tugal, Tugu Pertanda bekas markas itu, dan semacam balai yang terbuka. Khusus bangunan mata air itu, isinya telah kering. Mata air itu adalah salah satu sumber yang diciptakan oleh Sisingamangaraja.
Setiap mata air yang diciptakan senantiasa jernih dan mengandung mineral, selain bersifat keramat. Keringnya mata air yang berada di bekas markas itu kabarnya karena “ulah” orang luar. Orang luar itu mengaku penganut Parmalim dari Porsea. Itu terjadi katanya kira-kira dua tahun lalu ketika air yang ditimba masih jernih.http://humbanghasundutankab.go.id/wp-content/uploads/Sejarah-Markas-Besar-Sisingamangaraja-Humbang-Hasundutankab.jpg
Bekas markas itu dikuasakan kepada seorang mantan kepala desa bermarga Sihotang. Beliaulah penunjuk utama sekitar tempat-tempat terkait perjuangan Sisingamangaraja; mulai bekas markas itu sampai dua makam yang ditemukan setelah kami berjalan kaki sekitar 2 km kemudian dari Ambalo, desa terakhir sebelum Sisingamangaraja masuk ke sekitar gunung Sitapongan. Waktu memberikan informasi di bekas markas itu, baik kepada jajaran bupati maupun kepada teman-teman wartawan, beliau kelihatan punya keyakinan khusus atas kharisma dan perjuangan Sisingamangaraja. Di hadapan Tugu Pertanda itu ungkapan-ungkapan menyangkut kharisma itu disampaikan dengan gaya sastra lisan. Demikian dengan pesan-pesan yang pernah disampaikan oleh Sisingamangaraja tentang tujuh (7) sumber mata air penting bagi orang Batak. Ketujuh sumber mata air itu termasuk Mual Rimo Kayu yang sangat jernih dan terletak di pinggir jalan menuju dua makam di hutan Sionomhudon itu. Jalan Berliku dari Ambalo
Setelah dari bekas markas itu perjalanan ke Ambalo ada sekitar 6,5 km. Keramaian penduduk Ambalo seperti menyambut kedatangan rombongan. Langit tetap mendung dan rintik hujan masih mengancam. Karena tempat terakhir harus dilalui dengan jalan kaki, Idris merasa tidak perlu ikut menempuhnya. Ferdi Siregar, fotografer Analisa juga tidak melanjutkan perjalanan karena mungkin suasana puasa.
Aku mulai berjalan kaki dengan merasa mantap dan sesekali berhenti memotret ke arah gunung. “Mungkin,” pikirku, “itulah gunung Sitapongan!” Dari bibir jalan kuarahkan kamera digitalku ke ketinggian gunung yang menghadap Ambalo. Sedangkan fokus yang spontan arahnya kepada manusia dan persawahan di situ yang mirip dengan persawahan di sekitar Gomo (Nias Selatan). Persawahan di daerah Sionomhudon dan Ambalo selalu ditanami dengan silunjuang, sejenis bunga berdaun panjang-agak kurus dan kalau semakin tinggi bisa mirip pohonan . Di Nias namanya disebut bunga gendruo. Aku tak menyangka bunga seperti itu ditanam juga di persawahan karena dulu hanya pernah kulihat ditanam di depan rumah sebagai penangkal guna-guna. Rupanya fungsi yang dilakukan orang Nias sebagai penangkal hama untuk persawahannya tidak asing juga di daerah tapal batas Humbahas dan Dairi itu.
Secara khusus perjalanan ini seperti mencari sesuatu yang asli. Tidak saja menyangkut pemandangan dari persawahan itu. Jalanan yang masih dibatui lama kelamaan berubah pada sekian jarak dengan keaslian tanah liat. Sejak jalan ke arah kiri dari Ambalo, liku-liku mulai melengkapi rintik hujan, sepi, dan bayangan harimau yang dikabarkan masih ada di hutan itu. Ini mengingatkan aku suatu kali ketika pernah sengaja berjalan kaki di Tanjung Beringin Dairi dengan melewati tempat sepi dan kemungkinan harimaunya. Kuberanikan diriku lebih cepat berjalan dari Miduk; manatahu akan lebih cepat sampai bersama iringan bupati yang telah lebih mengawali jalan kaki.
Di suatu tikungan aku mempercepat langkahku karena melihat iringan masyarakat begitu ramai. Masyarakat sekitar Ambalo biasanya secara spontan akan turut mengiringi orang-orang yang datang mengunjungi tempat-tempat bersejarah itu. Apalagi mereka pada kesempatan ini didatangi oleh rombongan bupati atau pejabat. Namun tak jauh dari tikungan itu, dua tiga orang dari rombongan kami berhenti di suatu tempat. Itulah Mual Rimo Kayu. Aku segera mengambil beberapa gambar sebelum mendekat dan meminum air jernihnya. Dulu tempat itu nampaknya dijadikan Sisingamangaraja sebagai Parsaktian (sumber kharisma), Partonggoan (tempat berdoa), dan Pangurason (sumber air suci).http://humbanghasundutankab.go.id/wp-content/uploads/aek-rimo.png
Teman-teman lainnya yang baru tiba di Mual Rimo Kayu ada yang berfoto setelah menggantikan isi botol aquanya dengan air yang sangat jernih itu. Beberapa orang kedengaran mengucapkan santabi, sapaan hormat atau permisi ke lingkup air itu. Tentu aku juga mengucapkannya di dalam hati sebelum langsung mereguk dua tiga kali dengan menggunakan kedua tangan. Setelah itu rasanya aku baru pertama mereguk air murni yang mineralnya beda dengan air kemasan atau air di setiap kamar mandi Bengkel Teater Rendra.
Hampir duapuluh menit berhenti di Mual Rimo Kayu kami satu per satu beranjak melanjutkan penelusuran. Sepatuku juga mulai tambah berat karena tanah liat di jalanan. Liku-liku jalan yang naik-turun dan berbelokan nampaknya baru dibersihkan. Mendekat suatu belokan mulai tampak gerbang yang berjanur kuning. Berarti jalanan dibersihkan dalam rangka kehadiran rombongan kami. Di gerbang itu dituliskan ucapan selamat datang kepada bupati dan rombongan.
Melewati gerbang itu ada lagi satu simpang. Aku dan Miduk memilih ke arah kanan tanpa ragu. Rupanya lewat jalan kiri pun bisa juga dan kelihatan lebih pendek dari jalan kanan. Itu kami sadari sewaktu pulang. Kedua jalan itu ketemu di pekarangan sebuah rumah keturunan Raja Sisingamangaraja IV dari anak pertama bernama Raja Opar (abang dari Raja Sisingamangaraja V). Dari rumah itu kita masih melewati titi kecil sebelum menemukan dua makam yang salah satunya dianggap makam asli Raja Sisingamangaraja XII.m
Sesampai di lokasi kami melihat keramaian sedang mengelilingi makam yang posisinya agak tinggi dan terlindung oleh atap. Makam ini katanya dipugar pada tahun 1983 setelah kunjungan EWP. Tambunan waktu masih menjabat gubernur Sumatera Utara. Lantas makam satu lagi beberapa meter ke depan ditumbuhi tanaman bunga tertentu dan tanpa atap. Kuat perkiraan mantan kepala desa bermarga Sihotang, bahwa makam yang setengah terawat itulah makam Sisingamangaraja dengan Putri Lopian serta kedua jasad anaknya Patuan Nagari (tanpa kepala) dan Patuan Anggi.